Wednesday, May 18, 2011

Charlotte Maramis

Sekeping Sejarah Perjuangan Kemerdekaan RI dari Sydney



Charlotte Maramis, yang akrab dipanggil Tante Lottie, usianya sudah tidak muda, yakni 83 tahun. Lahir di Waverly, Sydney Australia tanggal  28 November 1927. Namun beliau masih memiliki daya ingat yang luar biasa, mampu bercerita secara runtun kisah-kisah kehidupannya tahun demi tahun pada saat perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, dimana beliau pernah terlibat. Ya, Tante Lotte seorang Indonesianis, pemerhati Indonesia yang mencintai Indonesia.

Kecintaannya terhadap Indonesia, tidak semata-mata karena suaminya seorang pejuang Indonesia bernama Anton Jan Maramis. Namun, saksi sejarah Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955 ini juga memiliki kesan yang mendalam terhadap Indonesia, beliau senantiasa menyelipkan pesan bahwa kemerdekaan Indonesia tidak diraih dengan mudah, bukan pemberian atau hadiah melainkan dengan perjuangan dan pengorbanan yang luar biasa dari para pahlawan, tokoh pendiri bangsa dan rakyat Indonesia saat itu yang bahu membahu bahkan mengorbankan nyawanya demi kemerdekaan Republik Indonesia.

Tante Lottie, tidak sekedar bicara tentang hal tersebut, karena saat para pejuang mempertahankan kemerdekaan RI beliau turut memberi dukungan, meski dia tinggal di Sydney.  Dikatakan, bahwa saat Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945, sebenarnya Indonesia belum merdeka sepenuhnya, karena harus terus berjuang mempertahankan kemerekaan dari penjajah yang masih ingin terus menguasai tanah air.  Tahun 1945-1950, adalah tahun-tahun yang sangat genting dan Belanda terus melancarkan agresi militer ke Indonesia. Tahun 1947 terjadi Agresi Militer I dan tahun 1948, terjadi Agresi Militer Belanda II.


Charlotte bertemu Anton Jan Maramis saat berusia 16 tahun.  Tidak banyak yang tahu, bahwa Anton J Maramis  adalah salah satu pejuang Indonesia.. Maramis yang berasal dari Menado, bekerja di perusahaan pelayaran Belanda, KPM. Kapal ini berlayar ke Australia. Tiba di Sydney tahun 1942,  Maramis berupaya membentuk hubungan perdagangan Australia dan Indonesia,  juga memohon ijin kepada pemerintah Australia untuk  menerbitkan buletin sebulan sekali, bernama Seaman’s Indonesia Journal. Buletin tersebut dimanfaatkan  untuk mengobarkan semangat perjuangan dan rasa nasionalisme kepada para buruh kapal Indonesia.  Aksi ini diketahui oleh polisi rahasia Belanda yang  melaporkan Maramis  sebagai imigran gelap dan dikirim ke Sydney Long Bay Gaol, lembaga pemasyarakatan yang terletak di kawasan Malabar, Sydney. Maramis ditahan sampai akhir perang dunia kedua,tahun 1945.

Dalam sebuah film dokumenter berdurasi 20 menit, berjudul Indonesia Calling, karya Joris Ivens tahun 1946, menggambarkan bagaimana para buruh yang berasal dari Indonesia dengan semangat berkobar menyuarakan aksinya untuk kemerdekaan Indonesia. Aksi ini mendapat dukungan dari para pekerja Australia, India dan Cina. Mereka melakukan aksi mogok, ketika kapal Belanda yang akan bertolak ke Indonesia memuat senjata dan amunisi untuk merebut kembali Indonesia sebagai negara jajahannya.Warga Indonesia yang saat itu mayoritas buruh pelayaran meminta pihak Australia memboikot kapal-kapal Belanda yang hendak menyerbu Indonesia.

Selepas dari tahanan, Maramis  memulai kembali aktivitas politiknya. Ia tergabung dalam Indonesian Club-sebuah perkumpulan serikat pekerja Indonesia di Australia. Organisasi ini  semakin lama menjadi sebuah wadah untuk menyalurkan aspirasi para pejuang kemerdekaan di Australia. Anton Maramis beserta rekan-rekannya mencari dukungan dari warga Australia untuk membantu perjuangan mereka. Di sanalah Anton bertemu dengan Charlotte yang saat itu bersama rekan-rekannya warga Australia turut berjuang menyuarakan kemerdekaan Indonesia. Charlotte merupakan salah satu pendiri Australia Indonesia Association  tahun 1945, beberapa bulan sebelum Indonesia merdeka. Organisasi ini juga mengirimkan  delegasi yang dipimpin oleh Tom Critchley  untuk turut memberikan dukungan suara bagi  kemerdekaan Indonesia di PBB tahun 1947. 

Semakin lama dukungan terhadap perjuangan mempertahanakan kemerdekaan RI semakin kuat. Namun aktivitas politiknya di Indonesian Club membuat Anton Maramis  dideportasi dari Australia. Pasangan ini pun terpaksa harus berpisah. Anton Maramis pulang ke Indonesia. Setahun setelah dideportasi, ia kembali ke Australia dan menikahi Charlotte tahun 1947. Tahun 1949 mereka tinggal di Indonesia sampai tahun 1962. Anton Jan Maramis menjadi anggota parlemen yang pertama saat itu.

Pada tahun 1955, saat berlangsungnya Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika pertama di Bandung, seorang pendiri Koran Indonesia Observer,  Herawati Diah mengajaknya untuk meliput kegiatan konferensi yang diikuti oleh 26 negara di Asia Afrika. Konferensi tersebut diprakarsai oleh Indonesia,  Myanmar (dahulu Burma), Srilanka, India dan Pakistan. Dikoordinir oleh Roeslan Abdulgani, Menteri Luar Negeri RI. Hadir saat itu PM Indonesia: Ali Sastroamidjojo, PM India: Jawaharlal Nehru, PM Srilanka: John Kotelawala, PM Pakistan: Mohamad Ali Bogra dan PM Myanmar: U Nu. Kegiatan yang berlangsung dari tanggal 18-24 April 1955 di Gedung Merdeka Bandung menghasilkan 10 dasa sila Bandung, yang intinya pernyataan dukungan bagi kedamaian dan kerjasama dunia.  Kegiatan ini sangat berkesan bagi dirinya dan mengasah kemampuannya sebagai jurnalis.  Selama beberapa tahun, Charlotte bekerja di Indonesian Observer.

Sosok Tante Lotte yang bersahaja

Charlotte sangat dikenal dikalangan masyarakat Indonesia di Australia, khususnya Sydney. Bila ada acara yang diselenggarakan oleh konsulat, sosok tokoh  yang akrab dipanggil Tante Lottie ini senantiasa hadir memenuhi undangan. Tante Lottie tinggal di daerah Rose Bay Sydney, sebuah kawasan perumahan dengan pemandangan teluk yang indah. Pertama kali bertemu di pesawat Garuda dalam perjalanan dari Sydney menuju Jakarta lalu ke Bandung dalam rangka peringatan Konferensi Asia Afrika 19-24 April 2011. Ditemui di rumah keponakannya yang asri di kawasan Pamulang Tangerang, Tante Lottie menunjukkan tiga buku karyanya. Buku pertama, “Echoes”. Sebuah buku yang berkisah tentang kehidupan seorang pejuang kemerdekaan RI  di Sydney tahun 1942-1949 yang mendapat dukungan dari warga Australia kala itu untuk kemerdekaan negerinya. Kenangan terhadap almarhum suaminya yang wafat tahun 1999 membekas hingga kini. Ketika memperlihatkan sampul depan buku yang bergambar wajah suaminya, Tante Lottie mengatakan’, “hmm.. lihat nih, handsome ya.. good looking,” katanya sambil tertawa. He’s ten years older than me. He’s my first love, good  husband, orangnya baik dan penuh pengertian..” sambungnya lagi dengan Bahasa Indonesia yang fasih.


Buku “Echoes”  yang kedua berisi kisah kehidupannya selama di Indonesia, dari tahun 1949 hingga tahun 1962 dengan mengambil kisah setelah masa revolusi kemerdekaan RI, dan menyaksikan bagaimana awal negeri ini dibangun. Gambar sampul depannya diambil saat Tante Lotte  berkunjung ke Keraton Solo, dan diterima oleh Gusti Ayu. “Lihat nih.. I dressed like this..” begitu katanya sambil menunjuk gambar saat mengenakan pakaian tradisional.

Buku ketiga, “Life’s Way”, berkisah tentang potret perjalanan hidupnya yang penuh makna serta gambaran hal-hal yang menarik tahun demi tahun yang dilewatinya.

Mulai menulis buku, ketika berusia 75 tahun, ketika itu Tante Lottie menyadari bahwa perjalanan hidup dan berbagai pengalaman yang dialami diri dan suaminya mungkin saja dapat diambil mafaatnya oleh yang membaca, karena mengandung kisah sejarah yang cukup berarti. Tante Lottie kini mendedikasikan dirinya untuk Indonesia, dengan mendirikan sekolah khusus untuk tuna netra di Menado. Dan mendirikan Yayasan Bali Hati untuk membantu anak-anak Indonesia yang tidak mampu agar dapat bersekolah.

Mengenai kemerdekaan Indonesia yang kini hampir berusia 67 tahun, Tante Lottie mengatakan bahwa pembangunan di Indonesia cukup pesat. Bila terjadi kekurangan disana sini adalah sesuatu hal yang wajar asal ada upaya untuk perbaikan. Dibandingkan dengan negara lainnya, seperti Australia yang sudah merdeka ratusan tahun, maka umur 67 tahun adalah masih muda. Suatu saat Indonesia akan bertambah maju dan semakin maju.  

Mengenai masyarakat Indonesia di Australia, Tante Lottie mengharapkan wanti-wanti (sambil berkali-kali saya suruh catat) bahwa orang Indonesia semakin banyak yang tinggal di Australia. Hal ini baik, karena jumlah penduduk Australia tidak banyak apabila dibandingkan dengan negaranya yang luas. Namun sebaiknya mereka harus membaur dengan penduduk setempat. Kami, orang Australia tidak suka bila ada kelompok-kelompok, contohnya ada suburb (daerah) untuk orang Cina, ada suburb untuk orang Vietnam di Kabramata, ada daerah Orang Lebanon di Lakemba, ada daerah orang Korea di Campsie dll. Sangat bagus bila Orang Indonesia tinggal menyebar, bagus untuk anak-anak mereka kelak, karena mudah beradaptasi. Mereka dapat bersama-sama penduduk setempat untuk kesekolah, ke gereja atau ke mesjid. Semua bangsa membaur, tidak berkelompok disuatu tempat. Saya memang melihat orang-orang Indonesia tinggal menyebar di berbagai kawasan di Sydney, dan mereka berkumpul bila ada suatu acara. Mereka sangat kompak dan bagus.

Mengakhiri percakapan dengan Tante Lottie, sungguh sangat beruntung dapat mengenalnya. Seorang yang berpandangan luas namun senantiasa berpikir positif. Dia enggan mencela bahkan enggan membicarakan hal-hal yang negatif di negeri ini. Namun pesannya adalah, bahwa kita harus menghargai para pejuang bangsa, para pahlawan dan tokoh pendiri bangsa. Bahwa kemerdekaan yang diraih oleh bangsa Indonesia bukanlah pemberian. Tapi perjuangan yang mengorbankan darah dan air mata. Hmm.., patut dicamkan, betapa mahalnya harga sebuah kemerdekaan, semoga negeri ini dapat maju dan sejahtera !




Jakarta, 17 Mei 2011
Meita.



1 comment:

  1. sya kepingin merantau ke australia, pengen sukses, pengen jd orang yg tidak lemah, kebanyakan orang Indonesia yg "buntu", merantau solusi agar bisa dpt jalan menuju kesuksesan, saling mendoakan agar orang Indonesia sukses di luar negeri tuik bisa membangun kesuksesan juga untuk negaranya....

    ReplyDelete