Wednesday, May 18, 2011

Charlotte Maramis

Sekeping Sejarah Perjuangan Kemerdekaan RI dari Sydney



Charlotte Maramis, yang akrab dipanggil Tante Lottie, usianya sudah tidak muda, yakni 83 tahun. Lahir di Waverly, Sydney Australia tanggal  28 November 1927. Namun beliau masih memiliki daya ingat yang luar biasa, mampu bercerita secara runtun kisah-kisah kehidupannya tahun demi tahun pada saat perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, dimana beliau pernah terlibat. Ya, Tante Lotte seorang Indonesianis, pemerhati Indonesia yang mencintai Indonesia.

Kecintaannya terhadap Indonesia, tidak semata-mata karena suaminya seorang pejuang Indonesia bernama Anton Jan Maramis. Namun, saksi sejarah Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955 ini juga memiliki kesan yang mendalam terhadap Indonesia, beliau senantiasa menyelipkan pesan bahwa kemerdekaan Indonesia tidak diraih dengan mudah, bukan pemberian atau hadiah melainkan dengan perjuangan dan pengorbanan yang luar biasa dari para pahlawan, tokoh pendiri bangsa dan rakyat Indonesia saat itu yang bahu membahu bahkan mengorbankan nyawanya demi kemerdekaan Republik Indonesia.

Tante Lottie, tidak sekedar bicara tentang hal tersebut, karena saat para pejuang mempertahankan kemerdekaan RI beliau turut memberi dukungan, meski dia tinggal di Sydney.  Dikatakan, bahwa saat Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945, sebenarnya Indonesia belum merdeka sepenuhnya, karena harus terus berjuang mempertahankan kemerekaan dari penjajah yang masih ingin terus menguasai tanah air.  Tahun 1945-1950, adalah tahun-tahun yang sangat genting dan Belanda terus melancarkan agresi militer ke Indonesia. Tahun 1947 terjadi Agresi Militer I dan tahun 1948, terjadi Agresi Militer Belanda II.


Charlotte bertemu Anton Jan Maramis saat berusia 16 tahun.  Tidak banyak yang tahu, bahwa Anton J Maramis  adalah salah satu pejuang Indonesia.. Maramis yang berasal dari Menado, bekerja di perusahaan pelayaran Belanda, KPM. Kapal ini berlayar ke Australia. Tiba di Sydney tahun 1942,  Maramis berupaya membentuk hubungan perdagangan Australia dan Indonesia,  juga memohon ijin kepada pemerintah Australia untuk  menerbitkan buletin sebulan sekali, bernama Seaman’s Indonesia Journal. Buletin tersebut dimanfaatkan  untuk mengobarkan semangat perjuangan dan rasa nasionalisme kepada para buruh kapal Indonesia.  Aksi ini diketahui oleh polisi rahasia Belanda yang  melaporkan Maramis  sebagai imigran gelap dan dikirim ke Sydney Long Bay Gaol, lembaga pemasyarakatan yang terletak di kawasan Malabar, Sydney. Maramis ditahan sampai akhir perang dunia kedua,tahun 1945.

Dalam sebuah film dokumenter berdurasi 20 menit, berjudul Indonesia Calling, karya Joris Ivens tahun 1946, menggambarkan bagaimana para buruh yang berasal dari Indonesia dengan semangat berkobar menyuarakan aksinya untuk kemerdekaan Indonesia. Aksi ini mendapat dukungan dari para pekerja Australia, India dan Cina. Mereka melakukan aksi mogok, ketika kapal Belanda yang akan bertolak ke Indonesia memuat senjata dan amunisi untuk merebut kembali Indonesia sebagai negara jajahannya.Warga Indonesia yang saat itu mayoritas buruh pelayaran meminta pihak Australia memboikot kapal-kapal Belanda yang hendak menyerbu Indonesia.

Selepas dari tahanan, Maramis  memulai kembali aktivitas politiknya. Ia tergabung dalam Indonesian Club-sebuah perkumpulan serikat pekerja Indonesia di Australia. Organisasi ini  semakin lama menjadi sebuah wadah untuk menyalurkan aspirasi para pejuang kemerdekaan di Australia. Anton Maramis beserta rekan-rekannya mencari dukungan dari warga Australia untuk membantu perjuangan mereka. Di sanalah Anton bertemu dengan Charlotte yang saat itu bersama rekan-rekannya warga Australia turut berjuang menyuarakan kemerdekaan Indonesia. Charlotte merupakan salah satu pendiri Australia Indonesia Association  tahun 1945, beberapa bulan sebelum Indonesia merdeka. Organisasi ini juga mengirimkan  delegasi yang dipimpin oleh Tom Critchley  untuk turut memberikan dukungan suara bagi  kemerdekaan Indonesia di PBB tahun 1947. 

Semakin lama dukungan terhadap perjuangan mempertahanakan kemerdekaan RI semakin kuat. Namun aktivitas politiknya di Indonesian Club membuat Anton Maramis  dideportasi dari Australia. Pasangan ini pun terpaksa harus berpisah. Anton Maramis pulang ke Indonesia. Setahun setelah dideportasi, ia kembali ke Australia dan menikahi Charlotte tahun 1947. Tahun 1949 mereka tinggal di Indonesia sampai tahun 1962. Anton Jan Maramis menjadi anggota parlemen yang pertama saat itu.

Pada tahun 1955, saat berlangsungnya Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika pertama di Bandung, seorang pendiri Koran Indonesia Observer,  Herawati Diah mengajaknya untuk meliput kegiatan konferensi yang diikuti oleh 26 negara di Asia Afrika. Konferensi tersebut diprakarsai oleh Indonesia,  Myanmar (dahulu Burma), Srilanka, India dan Pakistan. Dikoordinir oleh Roeslan Abdulgani, Menteri Luar Negeri RI. Hadir saat itu PM Indonesia: Ali Sastroamidjojo, PM India: Jawaharlal Nehru, PM Srilanka: John Kotelawala, PM Pakistan: Mohamad Ali Bogra dan PM Myanmar: U Nu. Kegiatan yang berlangsung dari tanggal 18-24 April 1955 di Gedung Merdeka Bandung menghasilkan 10 dasa sila Bandung, yang intinya pernyataan dukungan bagi kedamaian dan kerjasama dunia.  Kegiatan ini sangat berkesan bagi dirinya dan mengasah kemampuannya sebagai jurnalis.  Selama beberapa tahun, Charlotte bekerja di Indonesian Observer.

Sosok Tante Lotte yang bersahaja

Charlotte sangat dikenal dikalangan masyarakat Indonesia di Australia, khususnya Sydney. Bila ada acara yang diselenggarakan oleh konsulat, sosok tokoh  yang akrab dipanggil Tante Lottie ini senantiasa hadir memenuhi undangan. Tante Lottie tinggal di daerah Rose Bay Sydney, sebuah kawasan perumahan dengan pemandangan teluk yang indah. Pertama kali bertemu di pesawat Garuda dalam perjalanan dari Sydney menuju Jakarta lalu ke Bandung dalam rangka peringatan Konferensi Asia Afrika 19-24 April 2011. Ditemui di rumah keponakannya yang asri di kawasan Pamulang Tangerang, Tante Lottie menunjukkan tiga buku karyanya. Buku pertama, “Echoes”. Sebuah buku yang berkisah tentang kehidupan seorang pejuang kemerdekaan RI  di Sydney tahun 1942-1949 yang mendapat dukungan dari warga Australia kala itu untuk kemerdekaan negerinya. Kenangan terhadap almarhum suaminya yang wafat tahun 1999 membekas hingga kini. Ketika memperlihatkan sampul depan buku yang bergambar wajah suaminya, Tante Lottie mengatakan’, “hmm.. lihat nih, handsome ya.. good looking,” katanya sambil tertawa. He’s ten years older than me. He’s my first love, good  husband, orangnya baik dan penuh pengertian..” sambungnya lagi dengan Bahasa Indonesia yang fasih.


Buku “Echoes”  yang kedua berisi kisah kehidupannya selama di Indonesia, dari tahun 1949 hingga tahun 1962 dengan mengambil kisah setelah masa revolusi kemerdekaan RI, dan menyaksikan bagaimana awal negeri ini dibangun. Gambar sampul depannya diambil saat Tante Lotte  berkunjung ke Keraton Solo, dan diterima oleh Gusti Ayu. “Lihat nih.. I dressed like this..” begitu katanya sambil menunjuk gambar saat mengenakan pakaian tradisional.

Buku ketiga, “Life’s Way”, berkisah tentang potret perjalanan hidupnya yang penuh makna serta gambaran hal-hal yang menarik tahun demi tahun yang dilewatinya.

Mulai menulis buku, ketika berusia 75 tahun, ketika itu Tante Lottie menyadari bahwa perjalanan hidup dan berbagai pengalaman yang dialami diri dan suaminya mungkin saja dapat diambil mafaatnya oleh yang membaca, karena mengandung kisah sejarah yang cukup berarti. Tante Lottie kini mendedikasikan dirinya untuk Indonesia, dengan mendirikan sekolah khusus untuk tuna netra di Menado. Dan mendirikan Yayasan Bali Hati untuk membantu anak-anak Indonesia yang tidak mampu agar dapat bersekolah.

Mengenai kemerdekaan Indonesia yang kini hampir berusia 67 tahun, Tante Lottie mengatakan bahwa pembangunan di Indonesia cukup pesat. Bila terjadi kekurangan disana sini adalah sesuatu hal yang wajar asal ada upaya untuk perbaikan. Dibandingkan dengan negara lainnya, seperti Australia yang sudah merdeka ratusan tahun, maka umur 67 tahun adalah masih muda. Suatu saat Indonesia akan bertambah maju dan semakin maju.  

Mengenai masyarakat Indonesia di Australia, Tante Lottie mengharapkan wanti-wanti (sambil berkali-kali saya suruh catat) bahwa orang Indonesia semakin banyak yang tinggal di Australia. Hal ini baik, karena jumlah penduduk Australia tidak banyak apabila dibandingkan dengan negaranya yang luas. Namun sebaiknya mereka harus membaur dengan penduduk setempat. Kami, orang Australia tidak suka bila ada kelompok-kelompok, contohnya ada suburb (daerah) untuk orang Cina, ada suburb untuk orang Vietnam di Kabramata, ada daerah Orang Lebanon di Lakemba, ada daerah orang Korea di Campsie dll. Sangat bagus bila Orang Indonesia tinggal menyebar, bagus untuk anak-anak mereka kelak, karena mudah beradaptasi. Mereka dapat bersama-sama penduduk setempat untuk kesekolah, ke gereja atau ke mesjid. Semua bangsa membaur, tidak berkelompok disuatu tempat. Saya memang melihat orang-orang Indonesia tinggal menyebar di berbagai kawasan di Sydney, dan mereka berkumpul bila ada suatu acara. Mereka sangat kompak dan bagus.

Mengakhiri percakapan dengan Tante Lottie, sungguh sangat beruntung dapat mengenalnya. Seorang yang berpandangan luas namun senantiasa berpikir positif. Dia enggan mencela bahkan enggan membicarakan hal-hal yang negatif di negeri ini. Namun pesannya adalah, bahwa kita harus menghargai para pejuang bangsa, para pahlawan dan tokoh pendiri bangsa. Bahwa kemerdekaan yang diraih oleh bangsa Indonesia bukanlah pemberian. Tapi perjuangan yang mengorbankan darah dan air mata. Hmm.., patut dicamkan, betapa mahalnya harga sebuah kemerdekaan, semoga negeri ini dapat maju dan sejahtera !




Jakarta, 17 Mei 2011
Meita.



Monday, May 9, 2011

Adam Herman

Kisah seorang anak berprestasi di Australia
















Hidup memang memilki pilihan, terkadang kita dituntut untuk mengambil suatu keputusan yang bijak, yang diharapkan bisa bermanfaat dan berkah untuk semua. Dengan tidak lupa memanjatkan doa memohon petunjuk dari Yang Maha Kuasa. Prinsip ini rupanya dianut oleh Achie, seorang ibu rumah tangga yang tinggal di Minto, kawasan Campbeltown, Sydney. Sejak kurang lebih 14 tahun yang lalu Achie tinggal menetap di Australia. Mengikuti keluarga besarnya yang juga pindah. Ya, orangtua dan saudaranya semua tinggal di Australia. Sebagai anak tertua, tentu dia mengikuti keinginan orangtuanya untuk pindah.

Lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti ini, menikah dengan suaminya Herman Budiman dan dikaruniai seorang anak bernama Adam Herman, yang lahir pada tahun 1999. Sebelumnya mereka menanti selama kurang lebih 7 tahun untuk mendapatkan seorang anak. Sambil menanti kehadiran anak, pasangan suami isteri Achie dan Herman mendirikan Restoran Bakmi Gajah Mada di daerah Maroebra, Sydney pada tahun 1997. Persisnya di Newington Tower. Kurang lebih 500 meter dari kantor Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI). Mereka memang memiliki lisensi untuk membuka Bakmi Gajah Mada di Sydney.
Masyarakat Sydney sangat menyukai Restoran ini. Terlihat dari antusiasme orang yang sabar menunggu, bila semua meja penuh. Tidak hanya orang Indonesia, namun orang-orang dari berbagai negara yang tinggal di Australia sangat menyukai bakmi ini. Selain cita rasanya yang enak, juga kebersihan restoran ini sangat terjaga. Bahkan sempat dimasukkan dalam Rubrik Good Living di Sydney Morning Herald. Sebuah surat kabar terkemuka di Sydney. Juga Majalah Vogue, terbitan Sydney.


Setiap hari Achie berpeluh keringat didapur, meracik bumbu dan memasak hidangan yang akan disajikan untuk para tamu pelanggan restorannya. Meski beberapa karyawan turut membantu, namun untuk masak memasak, Achie harus turun tangan langsung. Dia tidak bisa melepaskan tugasnya kepada karyawannya begitu saja.

Hari berganti hari dijalani oleh pasangan Achie dan Herman melayani pelanggan restoran Bakmi Gajah Mada yang semakin ramai. Mereka bahagia melayani tamu-tamu yang datang dari pagi hingga petang. Selain restoran untuk memenuhi permintaan masyarakat setempat, mereka juga menerima pesanan catering setiap harinya yang jumlahnya cukup banyak. Kebahagiaan semakin bertambah, ketika Achie dinyatakan hamil, setelah 7 tahun menanti kehadiran anak. Dengan penuh rasa bersyukur dan suka cita, mereka semakin bersemangat mengelola restoran.


Akhirnya, awal tahun 1999, bayi yang dharap-harapkan lahir. Seorang anak laki-laki yang lucu dan menggemaskan. Diberi nama Adam. Sejak kelahiran Adam, kesibukan Achie semakin bertambah, tidak saja mengurus restoran, tetapi juga harus mengurus puteranya. Untuk memudahkan memantau, Achie kerap membawa bayinya ke restoran. Menjelang satu tahun usia Adam, bayi itu mulai belajar merangkak. Anak itu seperti ingin menjelajah, dia merangkak kesana kemari sambil beupaya tangannya meraih sesuatu.

Suatu hari, Adam merangkak ke arah dapur. Achie sedang mempersiapkan masakan untuk tamunya. Suaminya, Herman juga sedang sibuk melayani pelanggan. Tiba-tiba tangan Adam hendak meraih panci berisi rebusan air kaldu untuk mie. Adam saat itu sudah mulai bisa berdiri. Dan akhirnya memang dia bisa berdiri, namun ia hendak meraih panci berisi air mendidih yang berada diatas kompor. Allah Akbar ! teriak Herman. Ia melihat Adam hendak meraih panci. Lalu bergegas menarknya dan menjauhkannya dari kompor. Achie dan Herman segera menghentikan kegiatannya dan merangkul Adam. Masya Allah, hampir saja musibah menimpa kami. “Allah masih melindungi kami”. Begitu pekik Achie dengan nada gemetar dan haru..

Pada saat itu juga dengan perasaan panik, haru dan bingung mereka mengambil keputusan utk menutup restoran hari itu juga . Dan malam harinya mereka berunding membicarakan masalah usaha yang kian menanjak, tapi tidak mungkin berjalan lancar tanpa kehadiran Achie di dapur, namun dilain pihak Achie harus memusatkan perhatian pada Adam. Sehingga dengan berat hati mereka memutuskan untuk menutup restoran dan bertekat untuk mendidik dan membesarkan Adam dengan sepenuh hati. Pelangganan catering yang jumlahnya 111 orang, terpaksa ditelpon satu persatu, dan Restoran Bakmi Gajah Mada itu ditutup tahun 2000. Itulah pilihan hidup yang diambil oleh Achie dan suaminya.

Adam kecil semakin tumbuh dengan sehat dan lincah, tak disangka, sewaktu berumur 2,5 tahun
dia dapat membaca merek mobil seperti Toyota, Mitsubishi, Holden, BMW, Hyundai dan lain-lain. Kalau ada merek mobil yang belum bisa dibaca. Lalu dia bertanya. Setelah diberitahu, selanjutnya dia ingat. Sebagai orang tua, Archie dan suami menganggap hal itu biasa saja , karena bisa saja Adam menghafal logo yang ada pada mobil tersebut.


Umur 3,5 tahun Adam masuk ke Pre School (Early Learning Centre). Pada saat ini dia belum bisa berbahasa Inggris, tapi setelah setengah tahun bersekolah, bahasa Inggrisnya lancar, dan pada saat bermain terkadang dia mencuri waktu untuk duduk berbincang-bincang dengan gurunya, dia banyak bertanya kepada guru-gurunya. Satu tahun kemudian, Adam mendapat penghargaan "Encouragement Award" yakni Adam can encourage peers to do good things, dan gurunya terheran-heran melihat Adam sudah bisa membaca.

Mengenai membaca, Achie sebagai ibu pun juga tidak mengerti darimana tiba-tiba Adam bisa lancar membaca, meski sering membelikan buku-buku bacaan untuknya, tapi belum pernah secara khusus mengajarkan membaca. Pernah suatu kali dibelikan buku cerita dengan CD, dia senang mendengarkan CD itu sambil melihat bukunya, mungkinkah hal tersebut yang membuatnya lantas bisa membaca? “ I'm not sure..” seru Achie sambil tertawa ringan.

Umur 5 tahun kurang 2 bulan, Adam masuk Kindergarten (Taman Kanak-kanak). Pada saat masuk TK, ternyata kemampuannya membaca masuk dalam level 27 (utk anak normal setingkat dgn kelas 4, sehingga setiap pelajaran reading dia pindah ke kelas 4. Untuk matematika, Adam masuk ke kelas 2, begitu seterusnya, sehingga setelah dia dikelas 4, semua pelajaran dia pindah kekelas 6, dan ahirnya dia ikut tes untuk “Opportunity Class”, dan lulus, sehingga harus pindah sekolah dgn kelas yang khusus utuk menyelasaikan kelas 5 dan 6. Sewaktu kelas 2, Adam mengikuti tes IQ dengan hasil yang menakjubkan, namun tidak bersedia untuk menyebutkan berapa score hasil tes tersebut. Gurunya Adam, menyarankan agar score tersebut tidak digembar-gemborkan, tetapi lebih menyarankan agar melakukan sesuatu untuk menyalurkan bakat-bakat Adam. Pada saat kelas 2, 3 dan 4 dia mendapat juara Public Speaking di Ingleburn District dan South Western Sydney Region. Berarti setiap tahun Adam mengikuti lomba Public Speaking dan selalu meraih gelar juara.

Rumah Keluarga Herman dikawasan Minto, Campbleton cukup luas dan sangat nyaman, halaman muka dengan rumput hijau bak hamparan karpet, dan teras belakang yang terbuka. Cocok untuk menikmati kopi atau teh di sore hari. Di pojok ruang tamu ada piano. Dan diatasnya terdapat beberapa piala yang diraih Adam dari berbagai kejuaraan Public Speaking. Adam juga mahir bermain piano dan menyanyi. Bahkan sering tampil untuk undangan berbagai acara, baik yang diselenggarakan oleh masyarakat Indonesia di Sydney maupun acara-acara tertentu di wilayahnya. Untuk dunia tarik suara, Adam juga kerap meraih penghargaan, bahkan the best singer untuk kategori anak-anak pernah diraihnya tahun 2009. Belakangan ini Adam sedang berlatih untuk tampil sebagai salah satu tokoh dalam drama musical “Oliver”.

Bila masuk ke ruang keluarga di bagian belalang rumahnya, tampak berbagai penghargaan dan sertifikat kejuaraan terpampang penuh di dinding ruangan. Yang menarik adalah sebuah penghargaa dari Perdana Menteri Kevin Rudd dan Premier Morris Iemma.

Mengenai hubungan dengan Kevin Rudd, mungkin Adam satu-satunya anak Indonesia yang kerap berkirim surat untuk memberi masukan tentang lingkungan hidup, anak-anak nakal akibat drugs dan alkohol, dsb. Juga tak lupa mengirim ucapan selamat ulang tahun, Christmas dan New Year kepada Perdana Menteri saat itu. Sebaliknya Kevin Rudd memberi ucapan selamat atas prestasi Adam saat memenangkan lomba Public Speaking.





Demikian juga dengan Premier NSW, Morris Iemma (pejabat setingkat gubernur). Adam senantiasa kontak melalui surat menyurat. Saling mengucapkan selamat seperti ulang tahun atau tahun baru. Premier juga memberi ucapan selamat atas prestasi Adam yang secara rutin mengikuti program Premier Reading Challenge, sehingga pada saat dikelas 4 mendapat Gold Award, dan dilanjutkan dengan perbincangan tentang buku-buku di Perpustakaan.

Masukan dari seorang anak seperti Adam, rupanya didengar dan diperhatikan, ketika Adam mengusulkan agar lampu-lampu penerangan di jalan sekitar rumahnya diganti dengan lampu yang hemat energi. Akhirnya pemerintah setempat benar-benar menggantinya dengan lampu hemat energi. Begitu pula dengan usulan buku-buku perpustakaan, ketika Adam mengusulkan agar ditambah dengan buku-buku yang baru sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Para petinggi Australia tidak malu mendengar dan memenuhi usulan seorang anak seperti Adam, selain menghargai prestasinya, mungkin juga mereka berpikir bahwa kelak Adam akan menjadi pemimpin yang akan membawa kemajuan di negaranya, Australia. Pernah seseorang guru mengatakan bahwa kelak Adam akan menjadi petinggi Australia. Ya, bisa saja suatu saat ada orang Indonesia yang memimpin Australia. Who knows?

Jakarta, 9 Mei 2011
Meita


Sunday, May 8, 2011

Sabtu Sore di Danks Street


Hujan rintik-rintik turun sejak pagi hari di Sydney. Saat itu musim gugur di pertengahan April 2011. Udara terasa sejuk, namun ketika hujan turun, ditambah hembusan angin menerpa, terasa begitu dingin.

Danks Street berada di kawasan Waterloo, Sydney. Semarak dengan restoran, café dan gallery. Sebuah tempat hang-out yang banyak diminati oleh orang-orang muda baik penduduk setempat, maupun para migran dari berbagai negara. Hujan gerimis tidak mempengaruhi orang untuk berlalu lalang disekitar jalan tersebut.

Di sebuah café, tampak beberapa Orang Indonesia, terdiri dari pasangan muda suami isteri, menikmati Sabtu sore di French House, Danks Street. Mereka termasuk orang-orang sukses yang bekerja di Sydney, Australia. Setelah lelah bekerja dari Senin hingga Jumat, mereka sepakat untuk berkumpul setiap Sabtu. Ya, ini memang kelompok ngopi-ngopi. Begitu kata salah seorang anggotanya. Kita biasanya ngobrol macam-macam, terutama seputar berita yang sedang marak di tanah air. Maklum, bermukim di luar negeri tentunya ingin mengetahui topik berita apa saja yang menjadi bahan pembicaraan di negeri asal. Selain topik dalam negeri, tentu saling bertukar cerita berbagai hal, menyangkut kehidupan dan kegiatan yang mereka jalani di Australia sebagai tempat bermukim.


French House, sebuah lokasi di pojok, antara Danks Street dan Young Street. Sebuah bangunan yang sengaja di desain menyerupai restoran di Paris. Menyediakan aneka roti, croissant, sandwich, cake, teh, dan tentu saja kopi. Bila kita pesan teh, pelayan akan membawakan dengan satu set cangkir dan teko beserta peranti lainnya seperti tempat gula dan lain-lain disajikan lengkap bersama nampannya. Bila ingin minum kopi, penyajian kopinya pun unik, bukan dicangkir kecil, melainkan di gelas mangkok, namanya Soup Capuccino. Benar-benar sebesar manguk sop. Kata yang kerap berkunjung kesini, bila Maria Antoinette datang ke Sydney tentu akan mampir menikmati makanan, minuman yang disajikan disini. Mereka memesan tempat diluar ruangan.


Topik awal yang dibahas adalah mengenai berbagai kasus perbankan di tanah air, terutama yang melibatkan seorang karyawati bank swasta asing yang cantik dan seksi. Konon kecantikannya akibat beberapa kali operasi plastik. Obrolan mulai dari kisah pembobolan uang nasabah, bagaimana bisa terjadi hingga saling bertukar foto tentang si cantik dan seksi itu. Gambar yang diperlihatkan berasal dari foto-foto yang dikirim oleh teman dan keluarga di Indonesia melalui hanphone. Gelak tawa santer terdengar ketika mengomentari foto yang terkadang di imrpovisasi oleh orang-orang iseng pengirim foto, hingga tampak lucu gambarnya. Dan sesekali juga berdecak kagum melihat kecantikannya. Tapi mereka juga menampakkan rasa prihatin terhadap kondisi di tanah air, bukan saja kasus bank, tetapi juga masalah korupsi lainnya yang belum tuntas terselesaikan.

Sambil menyeruput kopinya, Dody yang bekerja di perusahaan telekomunikasi di kawasan Darling Harbor mengatakan bahwa bukannya tidak ada disini kejahatan semacam itu, di Australia ada pula berbagai jenis kejahatan seperti penipuan, pemalsuan dan sebagainya.. biasanya mereka menggunakan data-data palsu untuk menggelapkan sejumlah uang. Jenis kejahatan “white collar crime” memang kerap ada. Namun untuk kejahatan kecil-kecilan seperti copet, tidak banyak terjadi. Rampok atau pembunuhan juga ada, tapi angka kriminalitas seperti itu relatif kecil. Disini, misalnya pernah terjadi pemalsuan data penduduk oleh oknum tertentu untuk mendapatkan uang jaminan sosial dari pemerintah.


Lalu Betty yang bekerja untuk promosi dan perdagangan Indonesia, menimpali bahwa dompetnya pernah dicuri, tetapi akibat kelalaiannya sendiri, dengan meninggalkannya di meja sebuah perkantoran, padahal hanya sebentar tertinggal. Begitu kembali sudah tidak ada.Namun tidak disanka, ketika dia keluar gedung, tampak ada polisi yang sedang memegang dompetnya, langsung saja dia katakan, bahwa itu dompet saya. Ternyata, polisi tersebut memang sedang mencari-cari alamat yang terdapat didalam dompet tersebut. Setelah berhasil meyakinkan polisi, akhirnya dompetnya dia terima kembali. Uang yang berada dalam dompet sudah tidak ada, tetapi kartu kredit, dan lain-lain masih lengkap. Rupanya si pencuri setelah berhasil mengambil uang, dompetnya entah dibuang dimana, lalu ditemukan orang dan dilaporkan ke polisi. Betty sendiri tidak menyangka bahwa dompetnya diketemukan kembali dengan cepat. Lalu Betty kembali ke gedung dan menghubungi pihak keamanan dan menelusuri siapa pencurinya. Dari kamera CCTV, tampak jelas seorang pencuri sedang mengambil dompetnya. Entah bagaimana kelanjutan si pencuri tersebut, apakah bisa tertatangkap atau tidak, Betty sendiri tidak tahu.

Al Kusuma, seorang karyawan bank terkemuka di Australia mengatakan, bahwa bila kita kehilangan atau tertinggal barang disuatu tempat, dan ditemukan oleh orang yang beritikad baik, tentu kita bisa mendapatkan barang kita kembali. Kalau di kereta atau bus, ada tempat Lost and Found. Berbagai macam barang-barang yang tertinggal ada disana. Paling banyak payung, tapi banyak juga kereta dorong bayi, bahkan ada kursi roda sampai kaki palsu.. “lah koq kakinya bisa tertinggal ya..” katanya sambil tertawa.


Gerimis berganti menjadi hujan, cuaca kian dingin dan langit bertambah gelap. Tapi tampaknya mereka masih belum ingin beranjak. Tuty, ibu rumah tangga yang juga aktif di organisasi sosial, bercerita bahwa yang menyenangkan disini adalah kita tidakperlu khawatir dengan apa yang orang katakan terhadap penampilan kita. Kita boleh berpakaian biasa atau sederhana, dan tidak ada yang berkomentar tentang penampilan kita. Bila masuk toko atau restoran, apakah dia tukang sapu atau direktur semua tetap mendapat pelayanan yang sama. Disamping itu penduduk disini tidak peduli dengan merk yang disandang. Mereka tidak memperhatikan, apakah tas, sepatu atau baju kita keluaran butik atau perancang ternama. Konon, soal barang-barang branded, yang lebih tahu justru orang-orang Indonesia.

Lalu Al menambahkan disini hirarki sosial dalam kehidupan sehari-hari tidak terlalu menonjol, semua tampak sama. Karena jarak antara si kaya dan si miskin tidak terlalu jauh. Sebagai contoh, petugas angkut sampah (tukang sampah) mampu membeli mobil. Pelayan toko atau tukang bangunan bisa saja orang kaya, mereka mampu membeli kendaraan dan rumah.

Nieke yang bekerja sebagai perawat dan agen properti menimpali bahwa pagi-pagi bangun tidur, masih pakai piyama dan slipper (sandal kamar) dia harus ke “convenient store” (sebuah toko kecil seperti Circle-K kalau disini), karena keperluan mendesak, dia tidak sempat ganti baju. Tapi orang biasa saja, tidak ada yang memperhatikannya. Sehingga dia merasa nyaman dan leluasa.

Penggolongan orang-orang yang termasuk dalam suatu sistem sosial tertentu ke dalam lapisan-lapisan hirarkis menempatkan sekelompok orang memiliki dimensi kekuasaan, privilese (hak isitimewa) dan prestise. Biasanya lapisan itu dinilai dari kekayaan, jabatan, atau berdasakan ilmu pengetahuan dan profesi yang dimiliki (profesor, dokter, insinyur, dsb). Oleh karena itu banyak yang ingin berpenampilan seperti orang kaya atau intelek agar dihargai dan diperlakukan istimewa.

Mereka bersyukur bahwa kenyataan tersebut tidak berlaku di Australia. Semua tampak sama sederajat. Seorang teman yang tinggal di Canberra, ibu kota Australia, sering menyaksikan Kevin Rudd yang saat itu menjadi perdana menteri (kini Menteri Luar Negeri) setiap pagi mengantar anaknya sekolah, menyetir mobil sendiri tanpa pengawalan protokoler. Bahkan dia harus mencari-cari tempat parkir kendaraannya bila ingin mampir. Tidak ada tanda khusus parkir untuk seorang perdana menteri disekolah anaknya. Tuti juga menambahkan, dia pernah bertetangga dengan Premier New South Wales, pejabat setingkat gubernur. Penampilannya bersahaja, setiap pagi sebelum berangkat kantor dia acap kali menggendong anaknya atau mengajak jalan-jalan. Bahkan belanja kebutuhan rumah tangga ke supermarket sendiri.



Nieke yang bekerja sebagai agen properti dan perawat mengatakan, bahwa meski disini banyak kemudahan dan keteraturan, namun beragam manusia tentu memiliki pelbagai permasalahan. Saya sudah beberapa tahun ini bekerja sebagai perawat, awalnya ada teman yang menawari pekerjaan tersebut, saya mendaftar melalui sebuah agen jasa perawat, melalui serangkaian tes dan “uji kelayakan” akhirnya diterima. Tapi beda dengan “nurse” atau suster. Bila suster boleh memberikan obat (atas petunjuk dokter) untuk klien atau pasien, sedangkan perawat “hanya” menemani, mendampingi dan mengingatkan untuk minum obat. Biasanya dia menjaga pasiennya dari pukul 2 siang hingga 8 malam, jadi 6 jam sehari.


Betapa kebahagaiaan hidup tidak tergantung dengan kekayaan, kecantikan ataupun jabatan. Beberapa pasien yang Nieke tangani butuh pendampingan karena merasa kesepian dan ketergantungan fisik. Ada yang muda belia berusia 20 tahun, gadis cantik rupawan, rambut sebahu, bermata biru. Mengalami cacat fisik dan harus di kursi roda. Tidak bersuara. Bila ingin sesuatu, tangannya bergerak sangat lemah menunjuk ke “words chart” yang ada gambarnya. Bila ingin makan, makan ia menunjuk gambar makanan.. Dia bisa makan sendiri, namun gerakannya sangat lamban. Awalnya gadis ini periang, dan sehat. Namun, karena mengalami depresi mendalam yang menimpa kehidupan pribadinya, lalu nekat bunuh diri. Tetapi gagal, hinggal mengalami Brain Injuri. Syaraf otaknya mengalami kerusakan, tidak dapat menerima oksigen, sehingga otak sulit memerintahkan anggota tubuhnya untuk bergerak, juga bersuara.

Ada juga kisah dokter, kaya raya. Direktur rumah sakit terbesar di Sydney. Isterinya menderita kanker, lalu meninggal dunia. Anaknya yg perempuan usia 40 tahun, tinggal diluar kota. Ayahnya mengharapkan agar anaknya pindah, karena rumahnya yang ditempatinya besar sekali. Saat itu mamanya hendak dimakamkan. Pemakaman untuk isteri sedang disiapkan, tapi tiba-tiba dokter tersebut mendapat kabar, bahwa anaknya meninggal dunia. Tidak diketahui sebabnya yang pasti, ada kemungkinan bunuh diri karena persoalan dengan suami. Akhirnya pada hari pemakaman yang direncanakan untuk memakamkan isteri tercintanya, harus berbarengan dengan pemakaman puterinya. Jadi, dalam sehari, diaharus menerima kenyataan yang memilukan, dengan memakamkan kedua orang tercintanya.

Nieke mengakhiri ceritanya dengan tarikan napas dalam-dalam. Banyak hikmah yang dia dapat. Bahwa ternyata kisah kehidupan manusia yang memilukan kerap dialami. Tidak pandang, apakah kita kaya atau miskin, punya jabatan atau tidak, tetapi beragam masalah mendera setiap manusia. Mudah-mudahan dalam setiap permasalahan tersebut ada kemudahan dan jalan keluar yang terbaik.

Hari kini sudah malam, hujan sudah mulai reda. Mereka saling mengucapkan selamat tinggal. “Gank Café” ini hendak bubar jalan, tapi rupanya gallery diseberang French Café menarik hati untuk dikunjungi. Akhirnya sebelum benar-benar berpisah, mereka menyempatkan diri untuk melihat pameran karya seni perupa yang unik dan cantik. Betapa indahnya pertemanan yang terjalin diantara mereka, saling bertukar cerita. Bekerja dan sukses di negeri orang, yakni Australia.

Jakarta, 28 April 2010

-Meita-
Soup Capuccino

How Lucky You Are


Mendapatkan kesempatan mengunjungi Sydney, Australia adalah suatu hal yang menyenangkan. Sydney adalah kota terbesar di Australia yang menjadi tujuan utama para imigran. Sebuah kota pelabuhan dengan pemandangan yang cantik, ditambah beraneka ragam penduduk multikultural yang mewarnai kehidupansehari-hari.

Kota ini terkenal dengan “landmark”-nya Opera House dan Sydney Harbor Bridge. Sangat menawan dan membuat bangga para penduduknya. Disamping itu Sydney memiliki pantai-pantai yang menawan. Yang paling terkenal adalah Pantai Bondi dengan butiran pasir berwarna kuning keemasan.

Sebuah kota, tidaklah lengkap tanpa pernak pernik. Bila yang senang jalan-jalan “cuci mata”, banyak toko, butik mode yang menggiurkan. Pertokoan atau pusat belanja di Queen Victoria Building merupakan salah satu daya tarik wisatawan bila berkunjung ke Sydney. Karenabangunannya sangat antik dan cantik. Gedung empat lantai yang diresmikan tahun 1898, memiliki lantai yang indah, tangga yang elegan,jam gantung yang bagus, dan kaca patri yang menawan. Berisi butik karya perancang lokal. Ada pula toko barang antik dan seni berkelas. Bila lelah berjalan-jalan, banyak tersedia café dan restoran dari yang biasa hingga yang menggugah selera. Hmm.. sedap.

Bila yang senang mengunjungi museum dan galeri, ada berbagai tempat disini yang menggugah keinginan kita untuk tahu lebih banyak tentang seni, budaya, sejarah, ilmu pengetahuan dan lain-lain. Ada pula took barang antik dan seni berkelas sepeti di Oxford Street. Tidak lengkap sebuah kota maju bila tidak menyediakan lahan terbuka yang luas.Ditengah kota ada Hyde Park dengan rumput bak lapangan hijau,burung-burung yang berterbangan dan berkeliaran di taman. Menyempatkan diri duduk-duduk dirumput sambil menulis sungguh menyenagkan.Disini, bisa dibilang, ‘bengong’ saja enak, he..he..

Satu hal yang terpenting dari sebuah kota, adalah sistem transportasi yang baik. Sungguh membuat kita takjub bila melihat kendaraan umum yang tertib dan teratur. Bus umum dengan kapasitas penumpang yang banyak, juga kereta dengan berbagai tujuan dengan jumlah gerbong yang banyak serta bertingkat, sehingga dapat menampung banyak penumpang. Juga ada Ferry dari pantai menuju kota dan ada pula monorail. Membuat masyarakat baik penduduk maupun turis dapat nyaman bepergian.

Namun, untuk naik turun bus dan kereta di Sydney, tidak mudah awalnya.
Apalagi bagi orang asing yang berasal dari negara dengan sistem
transportasi yang buruk. Bila naik bis, harus berangkat ditempat halte
tertentu, dan berhenti ditempat tertentu pula. Supir bus tidak akan
menaikkan dan menurunkan penumpang disembarang tempat. Disetiap halte,
ada peta rute bus, jam datang dan petunjuk lainnya. Para penumpangnya
pun tertib dan sopan, mendahulukan orang-orang tua untuk naik dan
memberikan tempat duduk. Pembayarannya dengan menggunakan kartu
prepaid yang banyak diperoleh di toko atau supermarket.

Untuk naik kereta, awalnya canggung. Namun harus berupaya untuk
dapat bepergian sendiri. Wilayah pinggir kota Sydney, seperti
Lakemba, Fair Field, Mt Druitt, banyak didiami oleh para penduduk asal
Indonesia. Sehingga beberapa kali harus naik kereta untuk
dapat kediamannya. Banyak jalur kereta atau line. Bila
hendak ketempat yang kita tuju, harus disimak baik-baik, nomor
platform tujuan kita. Jadi, begitu sampai stasiun, beli tiket, lalu
cari platform, yakni sebuah papan display yang berisi rute nama-nama
stasiun atau daerah yang dilewati dan jam kedatangan kereta. Setelah
itu, ikuti arah nomor platform dan silahkan menunggu kereta disana.

Kebingungan terjadi, ketika hendak ke Lakemba, dengan membawa banyak
barang bawaan. Ada tas dibahu, tas jinjing dan tas laptop. Maklum mau
bermalam di rumah kenalan. Menuju Stasiun di Town Hall. Lalu
menunggu kereta di Platform 6, sesuai tujuan. Tiba-tiba dihadapan, ada seorang bayi
lucu sekali dalam gendongan ibunya. Saya perhatikan terus, dia
tersenyum dan sesekali tertawa. Lalu, tibalah kereta dan bergegas
masuk kedalam kereta, naik tangga untuk dapat mencari tempat duduk diatas. Ketika kereta sudah berjalan, baru disadari, ternyata tas berisi laptop tidak ada. Rupanya tertinggal dikursi tunggu.

Kaget dan bingung, segera putuskan untuk turun di stasiun
berikut. Setelah turun, lalu menghubungi petugas setempat dan
mengatakan bahwa tas saya tertinggal. Lalu petugas tersebut mengajak keruangannya dan menanyakan ciri-ciri tas. Kemudian dia menghubungi rekannya di stasiun keberangkatan dan mengatakan agar menunggu sekitar 10 menit untuk pengecekan. Setelah menunggu, petuga tersebut menanyakan apa isi tas? Saya jawab, Laptop.
Lalu dia bilang, silahkan balik lagi ke Town Hall dan temui Manajer Stasiun. Ketika
saya memasuki ruangan, ternyata tas berisi laptop sudah berada disana. How lucky you are.. begitu kata petugas. Alhamdulillah.. sambil berseru senang dan mengucapkan terimakasih kepada petugas..

Seorang teman bercerita bahwa beberapa waktu yang lalu ada kejadian,
dimana seorang nenek tertinggal uangnya di kereta saat pulang dari
menjemput cucunya. Sebelumnya ia mampir ke bank dan mengambil uang
sejumlah 50.000 dolar. Uang itu dimasukkan ke amplop dan ditaruh di
kotak makanan cucunya. Kotak tersebut tertinggal di kursi kereta.
Ternyata ditemukan oleh sorang pekerja pabrik. Dia kaget melihat uang
sebanyak itu. Pria itu bernama Ghazi Adra langsung menyerahkan uang
tersebut ke polisi. Dia bilang seberapapun banyaknya uang tersebut
tapi itu bukan milik saya. Sudah pasti si nenek gembira sekali
menemukan kembali uangnya. Kejadian ini mendapat sorotan dari publik.
Televisi Australia memberitakan cukup gencar. Dan Ghazi mendapatjulukan Australia’s most HonestMan.

Pernah juga seorang ibu kehilangan perhiasan pasangan anting berlian
miliknya, mungkin terjatuh di bus. Supir bis menemukan anting tersebut
dan menyerahkan ke polisi. Lagi-lagi si ibu mendapatkan keberuntangan.. tentu mereka juga mengatakan “how lucky you are..”
Kembali mengenang transportasi publik, berkesempatan mencoba naik bis antar kota dari Sydney ke Canberra pulang-pergi menggunakan Murrays Coach atau Greyhound. Busnya besar lengkap dengan toilet dibelakang. Berhubung jalanan lengggang, dan tidak ruwet, sangat nyaman menikmati pemandangan dilluar dari jendela, dimana sapi-sapi ternak bebas berkeliaran dipadang rumput hijau yang luas..

Jarak tempuh kira-kira 2,5 jam. Berangkat dari Central Station Sydney pukul 11 pagi, tiba di Terminal Jollimont Canberra pukul 13.30. Disini setiap penumpang bus harus mengenakan seat belt. Harga tiket pulang pergi 72 dollar. Menurut teman, bisa lebih murah bila memesan terlebih dahulu melalui internet. Akhirnya tiba di Canberra dan menikmati keindahan ibu kota Australia itu.

Sungguh senang ketika menjelajahi Gedung Parlemennya yang megah. Baik gedung baru maupun gedung lama, menyaksikan bagaimana demokrasi dijunjung tinggi di Australia, dan telah dilaksanakan selama kurun waktu 200 tahun. Juga ke museumnya, War Memorial House. Sebuah gedung yang berisi dokumen dan memorabilia tentang para perjuang dan pahlawan Australia. Sayang untuk dilewatkan. Dari kunjungan ke gedung dan museum, tentu saja menyempatkan berkunjung dan bersilaturahim dengan orang-orang Indonesia yang sudah lama bermukim di Canberra. Sungguh ramah dan baik hati mereka menerima kedatanganku.

Berkesempatan pula mampir ke Australia National University untuk menonton Film Indonesia yang sedang diputar saat itu Sunday Morning in The Victoria Park, sebuah film tentang buruh migran Indonesia di Hongkong yang dibintangi oleh Lola Amaria. Sempat juga bertemu Lola yang hadir saat itu untuk diskusi film dengan mahasiswa dan para penonton film. Dia mengisahkan bagaimana proses pembuatan film tersebut dengan lebih dahulu membuat survey tentang para tenaga kerja di Hongkong.

Kembali dari Canberra, menggunakan Murrays Coach, berangkat dari terminal Jollimont Pk 16. Tiba di Central Station Sydney, Pk 18.30 lalu menuju Maroebra, untuk kembali ke tempat menginap. Karena sudah malam, dan entah mengapa agak sepi saat itu, terus terang agak bingung harus menunggu di halte sebelah mana. Setelah bertanya-tanya.. akhirnya dapat menunggu bus nomor 393 di halte seberang dengan tujuan Maroebra.

Sambil menunggu bus, saya mencari “My Bus Card”. Sebuah kartu untuk membayar bus. Tinggal masukkan kartu ke mesin yang ada di bus, lalu kartu keluar dan langsung tercantum tanggal, jam dan nomor tujuan kita naik bus. Namun setelah beberapa waktu mencari-cari di tas, kartu bus tidak ditemukan.. sepertinya ada, tapi terselip dimana tidak tahu.. maklum waktu itu selain bawa koper kecil, tas laptop, juga tas tangan. Biasanya kartu bus, selalu ada di kantung dalam tas tangan. Tapi ternyata tidak ketemu.. Seorang wanita muda yang duduk dekat saya di halte menanyakan apa yang terjadi, mungkin melihat kegelisahan saya.. Lalu saya sampaikan bahwa kartu bus tidak berhasil ditemukan. Lalu dikatakannya, bahwa supir bus sering kesal bila kita bayar pakai uang, karena biasanya harus menyiapkan kembalian.

Untuk ke Maroebra, biasanya biayanya sekitar 3,5 dollar. Psarah.. bila nanti dimarahi supir bus. Segera saya siapkan uang receh.. ternyata hanya ada 2,5 dollar.. sisanya beberapa uang satu sen yang jumlahnya tidak genap 3,5 dollar. Hari sudah malam, dan terasa mulai dingin. Hampir 20 menit menunggu, lalu bus datang.. wanita muda yang menyapa saya memberikan uang sejumlah 2 dollar, katanya.. daripada kamu kena marah supir bus.. kasih saja 4 dollar, mudah-mudahan dia tidak repot menyiapkan kembalian..Oh baiknya wanita itu..sungguh saya berterimakasih. Sambil berdoa, lalu melangkah menuju pintu bus. Tiba-tiba, supir bus berdiri dari tempat duduknya dan menyapa serta mempersilahkan para penumpang masuk sambil tanggannya mengarah kedalam bus.. lalu apa yang dikatakannya, sungguh membuat hati ini ingin menangis.. “ Hi, How are you, it’s free now, card is not requiered !” wanita muda itu memandang saya sambil tertawa,.. dia mengatakan “How lucky you are..!” Dia juga kebingungan koq bisa tiba-tiba gratis, tidak perlu kartu atau uang..

Sungguh sangat tidak disangka..beruntung. Betapa hidup ini pas-pasan.. pas kita butuh pertolongan ada yang membantu.. pas kesulitan ada yang memberi kemudahan.. sungguh terima kasih Ya Allah,.. terimakasih juga untuk Clara, nama wanita muda yang akhirnya kami berkenalan, dia menolak dikembalikan uangnya. Kami berbincang-bincang sepanjang perjalanan dan sampai dia turun di Kingsford. Katanya. suatu hari dia akan berkunjung ke Jakarta..
Terima kasih Allah dan semua orang yang sudah berbaik hati memberikan pertemanan dan persahabatan yang penuh kehangatan selama disana..

Semoga Allah membalas kebaikan semuanya..
Jakarta, 24 April 2011
-Meita-

Cantiknya Melbourne

Australia










Salah satu indikator negara maju adalah kesejahteraan sosial yang memadai bagi warganya yakni antara lain jaminan pendidikan, jaminan kesehatan, kesempatan kerja serta kesetaraan sesama warga yang memiliki hak dan perlindungan hukum. Hal ini menempatkan Australia sebagai negara maju dengan mata uang yang terus meningkat menyaingi mata uang US Dollar. Berkenaan dengan kesetaraan, ketika Perdana Menteri Kevin Rudd terpilih menjadi PM Australia tahun 2008, secara resmi beliau memberikan pernyataan meminta maaf kepada “Generasi yang Terampas” atau “ Stolen Generations” atas nama pemerintah Australia.

Stolen Generations adalah istilah yang digunakan untuk anak-anak Aborigin dan penduduk Selat Torres yang diambil paksa dari keluarga mereka berdasarkan kebijakan pemerintah yang lalu. Permintaan maaf tersebut memperoleh dukungan penuh di parlemen. Dan pemerintah Australia menjanjikan dana sekitar 270 juta AUD untuk memperbaiki kesehatan, dan perkembangan anak-anak aborigin serta untuk biaya konseling agar generasi yang terampas menjalin hubungan kembali dengan orang-orang yang mereka cintai.


Yang menarik disini adalah permintaan maaf tersebut merupakan jembatan penting dalam membangun rasa hormat kepada penduduk pertama Australia dan sebuah lambang pemulih atas kesalahan-kesalahan dimasa lalu. Meminjam istilah Menteri Perumahan, Pelayanan Sosial dan Urusan Penduduk Asli Australia, Jenny Macklin, “a first step, necessary step to move forward from the past”.

Welcome to Melbourne
Wominjeka, artinya selamat datang. Bagi penduduk Aborigin tempat yang dikenal dengan nama Melbourne telah menjadi rumahnya sejak dahulu., kota ini menjadi tanah tempat tinggal turun temurun dari Keluarga Boonewurrung dan Woiwurrung. Setelah ditemukan tambang emas tahun 1851 menjadikan kota ini kota keberuntungan yang kaya raya sehingga para imigran dari negara koloni hijrah ke Melbourne. Kini Melbourne berkembang menjadi kota metropolitan dan ‘urban city’ dengan perkiraan populasi empat juta orang. Sebagai ibukota dari negara bagian Victoria, Melbourne menjadi kota nomor dua terbesar di Australia dan menjadi pusat seni budaya, pendidikan, perdagangan, hiburan, olah raga dan pariwisata.

Memasuki Kota Melbourne di akhir Bulan Oktober merupakan awal musim semi. Cuaca berkisar 9-20 derajat Celcius. Udara cukup sejuk, meski terkadang terasa dingin untuk yang terbiasa tinggal di daerah tropis.

Menghirup udara bersih, menatap langit biru, menapaki jalan-jalannya yang bersih, mengagumi bangunannya yang cantik, melihat rindangnya pepohonan, warna-warni bunga dan rerumputan hijau terhampar di taman serta menikmati hembusan udara sejuk nan alami, itulah keinginanku berkunjung ke Melbourne. Pernah sekali berkunjung kesini bersama suami, tapi itu sudah lama sekali. Alhamdulillah, kesempatan itu tiba ketika seorang teman dekat, Mbak Elly Winarno mengajakku menemaninya untuk menengok puteranya, Rendy Aditya yang sedang kuliah di Royal Melbourne Institute of Technology atau RMIT. Rendy mahasiswa Teknik Elektro, menjadi kebanggaan kita semua, sebagai mahasiswa asal Indonesia dengan raihan nilai atau prestasi dengan kategori terbaik, semoga mendapatkan Golden Key dengan kemudahan mendapatkan PR atau Permanent Resident. Amiin.


Kami tinggal di Apartemen Mantra on Russel, apartemen tempat Rendy tinggal. Terletak di downtown atau city, dengan lokasi strategis. Tidak perlu naik mobil untuk ke pusat perbelanjaan Myer atau David Jones, dekat dengan Federation Square dan Flinder Street Station. Bila dirasakan jauh, dapat naik trem ke tempat yang dituju dengan berjalan kaki sebentar ke arah Bourke Street. Ya, kota ini terkenal dengan tremnya, yang membuat para pejalan kaki mudah menjangkau tempat-tempat yang dituju. Beberapa tempat atau daerah seperti St Kilda atau Chapel Street bahkan terdapat lajur untuk pesepeda. Tak pelak kota ini mendapat julukan “World’s Most Livable City”. Kota yang tertib, teratur, indah dan nyaman. Bersama Mbak Elly, Yu Emmi, Rendy, Amanda dan Nia saya berkesempatan melihat keindahan Kota Melbourne, seperti mimpi rasanya..

Melbourne Icons.
Kesempatan saya yang pertama adalah mengunjungi tempat-tempat yang menjadi icon Melbourne, yakni Flinder Street Station yang letaknya tidak jauh dari Federation Square. Kebetulan saat itu sedang ada Festival Indonesia di Federation Square yang menampilkan tari-tarian, musik dan makanan khas Indonesia. Kami menuju kesana bersama Yu Emmi dengan diantar Amanda. Teringat sewaktu di pesawat, kami sempat satu rombongan dengan delegasi seni asal Makassar, katanya mereka sedang gencar mempromosikan Visit Makassar Year 2011 untuk warga Australia agar berkunjung ke Indonesia, khususnya Makasar. Kami lihat banyak pengunjung yang hadir, mereka memadati area panggung untuk menonton dari dekat tari-tarian dari berbagai wilayah di Indonesia. Yang ramai juga ada stan makanan. Beragam makanan asal daerah di Indonesia dijajakan disini. Ada Sate Padang, Soto, Bakwan, Bakso, dll. Yang antri sampai panjaang adalah stan makanan Palembang. Banyak yang ingin mencicipi Mpek-mpek Palembang. Amanda bersedia mengantri untuk mendapatkan semangkok mpek-mpek. Katanya dia sudah lama tidak makan ini. Amanda adalah karyawati, yang dahulunya juga kuliah di Melbourne.

Dari Federation Square, kami mengambil gambar Flinder Street Station, yang merupakan salah satu ikon Kota Melbourne. Bangunan ini merupakan stasiun kereta yang dibangun tahun 1910, yang merupakan pusat transportasi para warga Vicotria untuk bepergian dari dan keluar kota.












Selain Flinder Street Station, ada juga bangunan lama yang menjadi Icon Melbourne, yakni The Shrine of Remembrance yang didirikan untuk mengenang jasa perjuangan 114.000 Pahlawan Victoria pada masa Perang Dunia I. Dibangun tahun 1928 dan 1934.
Satu lagi bangunan terkenal di Melbourne adalah St Paul’s Cathedral yang dibangun tahun 1877 dan 1891.














A City of Gardens


Mengunjungi Melbourne, tidak lengkap bila tidak mengunjungi taman-tamannya yang indah. Public Area atau lahan terbuka cukup banyak, dengan pohon yang rindang dan taman-tamannya yang indah. Ada Royal Botanic Garden, Fitzroy Garden, Yarra Park, Treasury Garden, Carlton Garden, Flagstaff Garden dan masih banyak lagi taman-taman. Disini tamannya hijau, luas dengan bunga-bungan yang indah. Membuat Kota Melbourne terasa sejuk, karena bebas polusi. Sungguh, membuat sirik, iri, dengki saya sebagai warga Jakarta, maaf, maaf.. Jakarta semakin terasa tidak nyaman untuk tinggal, karena semakin sumpek dan padat. Ini curahan hatiku yang paling dalam sebagai warga kelahiran Kota Jakarta. Hu..hu.. hiks.

Royal Botanic Gardens ditemukan than 1846, sebuah taman dengan warisan botani dan landscape yang indah. Taman ini seluas 38 hektar terdiri dari 52.000 tanaman, dengan 10.000 berbagai spesies dari berbagai belahan dunia. Mengunjungi taman ini dikala musim semi sangat indah, banyak bunga warna warni bermekaran. Subhanallah. Terdapat pula beberapa danau didalamnya. Awalnya, taman ini dipimpin oleh Botanis, Baron F Von Mueller dan William Gilfolye. Selain taman, ada Garden Shop dan Café. Disini juga ada pendaftaran untuk kelas melukis bunga.. waduh senangnya yang ingin belajar melukis disini. Selain itu mereka juga memberi kesempatan bagi penduduk untuk mengenal Kebudayaan Aborigin melalui “Aborigin Heritage Walk”, dimana pengunjung dapat memahami kekayaan warisan lokal Boonwurrung dan Woiwurrung seperti tumbuhan atau tanaman yang mereka gunakan, baik untuk makanan, obat-obatan, peralatan, dan upacara.

Fitzroy Garden


Saya mengunjungi Fitzroy Garden, ditemani Mbak Elly. Awalnya kami ingin menuju Cook’s Cottage yang berada di Fitzroy Garden. Jalan kaki dari Mantra on Russel menuju Parliament House, melewati St Patrick’s Cathedral sebuah gereja dengan taman-taman bunganya yang indah. Kebetulan bertemu dengan dua orang pendeta yang menunjuki kami jalan menuju Cook’s Cottage. Mereka mempersilahkan kami masuk ke halaman gereja untuk lihat-lihat. Kesempatan ini kami manfaatkan untuk foto-foto. Mbak Elly sangat terkesan dengan tamannya. Ada bunga yang mirip Sakura. “Apa itu Bunga Sakura ya? Cantik sekali bunga-bunganya”, kata Mbak Elly. Setelah berfoto ria, kami melanjutkan perjalan lagi. Meski jauh tapi tidak terasa lelah, mungkin karena pemandangan yang bagus dan udara yang sejuk. Akhirnya kami sampai di Fitzroy Garden, memang benar, tamannya indah. Pohon-pohon yang tinggi, rumput yang luas, bunga warna-warni tertata rapi.. hmm .. cantik banget. Mbak Elly teringat cucu-cucunya, katanya nanti kalau kesini pasti mereka lari-larian kesana kemari.













Cook’s Cottage. Adalah sebuah rumah mungil yang konon pernah ditempati oleh keluarga Captain Cook atau dikenal dengan nama James Cook (27 Oktober 1728–14 Februari 1779) adalah seorang penjelajah dan navigator Inggris. Ia mengadakan tiga perjalanan ke Samudra Pasifik, pernah mampir ke Batavia (Jakarta) dan berhasil menentukan garis-garis pantai utamanya. Cook adalah orang Eropa pertama yang mengunjungi Hawaii. Selain itu, dia juga merupakan orang Eropa kedua yang berhasil mencapai Selandia Baru (setelah Abel Tasman) dan berhasil memetakan seluruh garis pantainya. Didalam rumah mungilnya ini terdapat dapur, ruang tidur utama, ruang tidur anak-anaknya dengan perabotan dan perlengkapan rumah tangga yang antik. Para petugas atau tour guide mengenakan pakaian Old Voctorian. Sekitar rumah ditumbuhi tanaman perdu yang berbunga warna-warni. Juga disediakan pakaian kuno, yang bisa kita pakai untuk berfoto ria. Bagus banget suasananya disini. (Waktu membuat tulisan ini baru sadar, bahwa ternyata kami berkunjung kesini bertepatan dengan hari kelahiran James Cook). Dari rumah James Cook, kami mampir ke café yang juga didalam taman Fitzroy. Minum segelas cokelat hangat, dengan Carrot Cupcake sambil menikmati pemandangan taman yang indah, sungguh luar biasa rasanya.. Subhanallah..

Carlton Gardens


Seperti taman-taman lainnya, tentu saja banyak pohon rindang dan padang rumput yang hijau. Namun disini terdapat air mancur yang cantik. Dan terisitimewanya lagi ada Gedung Royal Exhibition dan Melbourne Museum. Saat itu sedang degelar pameran mobil-mobil kuno di Royal Exhibition. Keren banget. Dengan “juru foto” Rendy dan Amanda”, kami semangat sekali berfoto ria di taman ini..



Out and About In Melbourne

Banyak yang bisa dikerjakan di Melbourne, bagi yang suka shopping, disini tempatnya. Berbagai butik, dan department store tampak terlihat megah dan indah. Berkeliling ke city untuk melihat-lihat alias cuci mata juga menyenangkan. Ada Mall yang besar dan terkenal seperti Myer dan David Jones, ada supermarket Big WW, ada Target, Cotton-in, Reject Shop, Priceline (kosmetik), IKEA (Furniture) sampai ke perlengkapan bumbu-bumbu masak khas juga ada, seperti beberapa toko Asian Grocery. Kami sempat beberapa kali ke Laguna yang menjual bumbu-bumbu masak khas Indonesia. Yu Emmi memang pintar masak. Selama di Melbourne, kami senantiasa disediakan makanan yang enak-enak. Pagi hari, nasi goreng atau mie jawa atau sambal ikan peda dengan nasi panas, hmm lezaat. Siang hari soto, empal daging, bakwan jagung, perkedel, Tumis Kangkung, dll .. semuanya sedap. Top banget deh. Terimakasih Yu Emmy.


Mau belanja sayuran atau daging serta souvenir yang bagus dan murah, silahkan kunjungi Queen Victoria Market, sebuah pasar tradisonal yang bersih dan apik. Dengan membawa trolly dari rumah, naik trem sekitar 10 menit, tibalah kami di Vic Mark. Kami sempat beerbelanja keperluan memasak untuk beberapa hari kedepan. Kesempatan tersebut saya manfaatkan juga untuk membeli beberapa kaos dan souvenir khas Melbourne. Ada beberapa orang Indonesia yang berjualan kaos dan cendera mata . Kami sempat bertemu dengan seorang wanita Indonesia yang berjualan kaos. Suaminya sedang kuliah disana untuk mengambil gelar PhD.

Kalau mau lihat-lihat “The Bold and Beautiful”, coba deh jalan-jalan ke Chapel St Precinct. Bersama Mbak Elly dan Yu Emmi, kami naik Trem nomor 8 (kalau tidak salah) dari Swanston Street kurang lebih 20 menit tiba di Chapel. Disini tempatnya anak muda hang-out. Pertokoannya terdiri dari butik-butik kelas mewah produk asli Australia (Australia Branded). Keren banget, Mbak Elly bilang kalau mau lihat orang Australia bergaya, lihat deh disini.. mereka benar-benar cantik dan modis. Disini tempatnya anak-anak muda gaul.. seperti Kemangnya Jakarta. Wow, the good things in life.. fashion, food, entertainment and style. Chapel Street merupakan satu dari “Melbourne’s premier shopping and entertainment strips” dengan lebih dari 980 toko atau butik, cafés, restoran, bar, pub dan nightclub. Daerah ini terkenal dengan sebutan Melbourne’s fashion and style capital. Lelah putar-putar, lalu kami makan di Restoran Jepang, yang kata Mbak Elly enak banget.. dan ternyata memang sedaaap. Thanks a lot mbak..

Yarra River

Tidak saja taman-taman yang indah, Melbourne memiliki Yarra River, sungai yang melewati kota dan taman, membentang dari Docklands melewati Federation Square, Royal Botanic Garden, Citilink dan seterusnya..sampai jauh.. Menuju Yarra River, kami telebih dahulu melewati Flinder Street Station. Dari samping stasiun, ada tangga lalu turun menuju Southgate. Dari sana kami menyeberangi jembatan. Tampak di sungai beberapa orang naik kano. Bila ada yang ingin naik cruise, disini tempatnya ‘departure point’ Melbourne River Cruises. Melihat-lihat pemandangan sekitar sungai senja hari, sambil menikmati secungkup es krim.. hmm sungguh nikmat.

Southgate terletak di kawasan South bank of the Yarra, daerah ini merupakan tempat yang menyenangkan untuk makan dan bersantai, dari restoran eksklusif hingga Wharf Food Market. Ada kompleks hiburan yang terkenal, Crown. Disini tempatnya casino. Menikmati pemandangan senja ditepi sungai hingga malam hari disini sangat indah.. lampu-lampu dari gedung-gedung berkelap kelip seperti permata.. benar-benar indah. This is a must-visit place.





Wildlife viewing – Phillip Island



Hal yang menakjubkan bagi saya adalah ketika berkunjung ke Philip Island untuk menyaksikan kehidupan binantang mungil, Burung Pinguin yang senantiasa mengikuti ritual rutinnya mengunjungi Phillip Island yang konon datang dari Kutub Selatan.


Bersama Yu Emmi, saya mengikuti paket tour. Perjalanan dari Melbourne ke Phillip Island, kurang lebih 90 menit. Dalam perjalanan tersebut, kami mampir ke peternakan “Warook Cattle Farm”, menikmati suguhan ‘high tea’ berupa teh/kopi dan muffin. Disana terdapat burung dan binatang ternak seperti kuda, domba, sapi, juga ada kanguru, wombats dan lainnya. Rumah peternakan untuk rehat minum teh, sangat apik dengan bunga-bunga indah dihalaman belakangnya. Tidak mau rugi, kami pun mengambil gambar disekitar rumah tersebut. Maklum, kami pencinta bunga..















Dari Warrock Cattle Farm, kami mampir ke pabrik coklat Panny’s. Menikmati tester coklat yang menurutku sangat sedikit.. (habis suka banget coklat). Dan memang coklat disini rasanya seperti Coklat Belgia. Enak deh..

Setelah itu kami mampir ke Koala Conservation. Menyaksikan dari dekat Koala yang bergelantungan di pohon, menikmati hutan dimana Koala tinggal. Habitat Koala adalah di pepohonan Eukaliptus. Meski terlihat lucu, sebenarnya Koala adalah hewan yang “powerful”, dia bisa menggigit dan mencakar untuk melindungi dirinya. Hewan ini sangat dilindungi oleh Pemerintah Australia. Selain Kanguru, Koala termasuk Ikon binantang Australia.




Tibalah kami di lokasi pengintaian Pinguin. Waktu menunjukkan pukul 7.30 malam. Biasanya penguin tiba di tepi pantai dari perjalanannya sekitar pukul 9 malam. Kami menanti di tempat pengintain. Benar saja, mereka datang berkelompok, lucunya mereka jalan berbaris, seperti berparade. Binatang ini kecil mungil dan menggemaskan. Rupanya penguin disini memang kecil mungil. Kalau di Afrika Selatan, mereka besar-besar, bahkan ada yang setinggi meja makan. Sejak tahun 1920, para pengunjung sering menyaksikan parade Pinguin, kini kabarnya sebanyak 500.000 pengunjung sudah datang ke tempat ini.

Ada kejadian lucu, ketika kami hendak membuka bekal makanan ditempat pemantauan, burung-burung laut datang mendekati kami. Yu Emmi sebenarnya membawa bekal makanan nasi dan lauk pauk, tapi sepertinya kurang memungkinkan kami makan nasi disana. Kebetulan sempat membeli pizza di Nobbies, lalu ketika hendak melahap Pizza, karuan burung-burung tersebut hendak mencaplok makanan kami.. akhirnya batal acara makan pizza. Sang burung yang gagal mencaplok pizza membuang kotorannya di jaket Yu Emmy. Haaa… mungkin sang burung kesal,, he..he.. Begitu pula ketika seorang pemuda sedang memakan roti, tak pelak roti itupun disambar burung. Pesan moralnya disini adalah, harap perhatikan penguin baik-baik, jangan disambi dengan makan makanan. He..he..

Perjalanan ke Philip Island membutuhkan waktu seharian. Berangkat dijemput dari tempat kami di Mantra on Russel pk 12.55. Tiba kembali di rumah Pk 11 malam. Harga paket tour ini $105. Bis besar dengan toilet didalam. Sebenarnya ada paket yang lebih murah, sekitar $72, bis lebih kecil, namun tour guide berbahasa Mandarin, dan tidak mendapatkan paket minum teh, tidak diantar/dijemput ditempat. Melainkan kumpul di tempat travel biro. Oh y jangan lupa membawa baju penahan dingin. Karena udara disini dingin sekali.
------

Banyak lokasi bagus nan indah di Melbourne. Ada St Kilda Beach, Hutan Dandenong, Yarra Valley, Sovereign Hill dan Historic Ballarat, Great Ocean Road, serta tempat-tempat indah lainnya.. Mudah-mudahan lain kesempatan saya bisa ceritakan disini.


Terima kasih untuk yang sudah berbaik hati memberi berbagai fasilitas dan kemudahan:
Ibu Elly Winarno, Rendy Aditya Winarno, Yu Emmy Yassin, Amanda dan Nia.
Semoga Allah SWT membalas kebaikan semuanya.. Mohon maaf bila ada kesalahan.



31 Oktober 2010.
-Meita-